Rabu, 10 Agustus 2011

Dubes RI: Nazaruddin Mencoba Suap Polisi di Kolombia

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sepak terjang Muhammad Nazaruddin sungguh luar biasa. Setelah kabur ke luar negeri dan melemparkan "bola panas" di Indonesia, mantan bendahara umum Partai Demokrat itu, mencoba menyuap polisi yang menangkapnya di Cartagena, Kolombia.
Hal itu diungkapkan Duta Besar Republik Indonesia di Kolombia Michael Menufandu kepada Kompas, yang menghubunginya dari Jakarta, Selasa (9/8).
"Ya, benar, ia sempat menyampaikan niatnya. Saya melarangnya," ujar Michael.
Michael menegaskan, Nazaruddin yang memakai paspor atas nama M Syarifuddin tidak ditangkap bersama istrinya, Neneng Sriwahyuni.(*)

Selasa, 09 Agustus 2011

Ibu Nifas di RSUD Bajawa

Frans Anggal

Keluhan Perlakukan Diskriminatif



Pasien keluhkan pelayanan RSUD Bajawa. Diskriminatif. Perlakukan ini menimpa Paulina Sawu asal Desa Dadawea, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Ia masuk rumah sakit karena hendak melahirkan, Senin 25 April 2011 (Flores Pos Sabtu 7 Mei 2011).

Beginilah perlakuan yang dialaminya. Setelah tiga hari dirawat, ia tidak lagi kebagian jatah makan. Saat ditanya alasannya, petugas menjawab: Paulina Sawu tidak lagi berstatus pasien, karena sudah sehat. Sedangkan bayinya masih dirawat di inkubator. Dengan alasan yang sama, tempat tidurnya ditempati pasien lain. Sedangkan dia ditempatkan di ruang inkubator. Tanpa tempat tidur. Tidur di lantai.

Karena kaki pasien ini membengkak, suaminya Hubertus Uta melaporkan keadaan itu ke petugas. Dilakukanlah pemeriksaan. Hasil pemeriksaan: ibu melahirkan ini menderita hipertensi atau darah tinggi. Maka, ia dikembalikan ke tempat perawatan semula, di ruang ekonomi. Di sana barulah ia mendapat tempat tidur. Juga mendapat jatah makan.

Direktris RSUD Bajawa Dokter Maria Wea Betu membantah adanya perlakukan diskriminatif dalam kasus ini. Menurut dia, ibu melahirkan itu tidak lagi berstatus pasien karena sudah sehat. Karena si ibu sudah sehat, yang menjadi pasien tinggal bayinya.

Hal lain, yang terkait erat dengan itu, RSUD Bajawa kekurangan tempat tidur. Hanya 22 buah. Sedangkan pasien di ruang persalinan saat itu 27 orang. "Jadi (dengan kondisi seperti ini), yang sudah sehat bisa keluar dan bisa menginap di luar. Sedangkan pasien dari luar Bajawa ditampung di suatu ruangan bagian belakang. Dan tiap dua jam menyusui bayinya," kata Dokter Maria.

Penjelasan ini menerangkan satu hal. Masalah paling utama di RSUD Bajawa saat ini, dalam kasus ini, adalah fasilitas. Rumah sakit kekurangan tempat tidur. Keadaan ini mengharuskan pengaturan tertentu manakala jumlah pasien melebih daya tampung.

Dari kasus ini dan penjelasan direktris, kita menangkap pengaturan di RSUD Bajawa kurang lebih sebagai berikut. Ibu melahirkan, kalau sudah sehat, tidak diperkenankan lagi menginap di rumah sakit, meski bayinya sedang dirawat. Kalau tetap ngotot menginap maka, maaf beribu maaf, bersiaplah terima risiko. Pertama, tidur di lantai. Kedua, tidak dapat jatah makan.

Risiko inilah yang dialami Paulina Sawu. Kata petugas, ibu melahirkan ini sudah sehat, setelah tiga hari dirawat inap. Sedangkan bayinya belum, masih dalam inkubator. Karena dinyatakan sudah sehat, ibu ini tidak lagi jadi pasien. Karena tidak lagi jadi pasien, haknya sebagai pasien dicopot habis. Ia tidak dapat makan. Tidak dapat tempat tidur. Tidak dapat perawatan.

Benarkah ia sudah sehat? Kalau ia sudah sehat, kenapa kakinya bengkak? Karena kakinya bengkak, ia diperiksa. Hasilnya, ia menderita hipertensi. Benarkah hipertensi menyebabkan kaki bengkak? Jangan-jangan itu terjadi karena dia tidak dapat jatah makan (asupan gizi) dan hanya tidur di lantai.

Ibu itu ibu yang baru melahirkan. Masuk akalkah tiga hari setelah melahirkan ia dinyatakan sehat? Boleh jadi benar, ia sehat hanya dalam tiga hari. Namun ia pasti masih dalam masa nifas. Normalnya 40-60 hari. Artinya, selama 40-60 hari darah masih keluar dari rahim. Maka, masa nifas adalah masa perawatan. Ia tetap membutuhkan perlakuan khusus. Adakah perlakuan "khusus" di RSUD Bajawa? Ada! Ibu nifas tidur di lantai dan tidak diberi makan.

"Saya minta, pelayanan petugas di RSUD Bajawa memperhatikan aspek kemanusiaan. Pemerintah dan DPRD harus memperhatikan kejadian-kejadian seperti ini dan bila perlu ambil sikap tegas," kata suami si pasien. Ia benar. Aspek kemanusiaan!

"Bentara” FLORES POS, Senin 9 Mei 2011

Halo Polsek Riung? Kasus Pemerkosaan Perempuan Cacat

Frans Anggal

  Seorang gadis cacat,16 tahun, diperkosa Marianus Daeng Sapat, 20 tahun, warga Desa Wangka Selatan, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Selasa 26 April 2011. Kasus ini sudah dilaporan kakak korban ke Polsek Riung. Namun hingga Kamis, 27 April, pelaku belum ditangkap (Flores Pos Rabu 4 Mei 2011).

Dari usianya, korban adalah anak di bawah umur. Cacat pula. Kondisi ini tidak menghalangi niat si pemuda. Mungkin ada sedikit rasa bersalah, rasa iba dan tak tega. Namun semua perasaan itu takluk di bawah perasaan lain. Perasaan berkuasa.

Dengan ini, kita hendak melihat kekerasan seksual sebagai bentuk ketidakseimbangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual tidak hanya soal hasrat pemuasan seksual, tapi juga kehendak penundukan atau panaklukan. Dengan memperkosa perempuan, laki-laki menunjukkan kekuasaannya---yang notabene sudah lama melembaga dalam masyarakat.

Jadi, selain sebagai cara pemuasan seksual, pemerkosaan adalah juga media penegakan supremasi laki-laki. Di sini, perempuan dan anak bukan hanya korban, tapi juga ikon ketertundukan dan ketertaklukan itu.

Dengan ini pula, pemerkosaan sesungguhnya bisa bahkan sering terjadi dalam perkawinan yang sah (marital rape). Yakni berupa pemaksaan kehendak seksual suami terhadap istri. Pemaksaan itu sudah merupakan penaklukan atau penundukan. Di sini, taat pada suami disamakan dengan takluk pada suami.

Itu dalam situasi damai. Dalam situasi perang, kisahnya lebih mengerikan. Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina (1997) menulis, laki-laki bersenjata memperkosa karena ingin memperlihatkan kekuasaannya. Ia ingin menjadi pemenang dalam pertempuran. Ia memperkosa karena menganggap tubuh perempuan sebagai bagian dari pertempuran.

"Di berbagai wilayah konflik bersenjata seperti Bosnia Herzegovina dan Kroasia, Rwanda, dan lain-lain, pemerkosaan digunakan sebagai alat pembersihan etnis," tulis Stiglmayer. "Pemerkosaan di wilayah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai insiden dari agresi militer, tetapi justru merupakan taktik atau strategi agresi," ia mengutip para ahli dari komisi PBB yang melakukan penyelidikan mengenai pemerkosaan di bekas negara Yugoslavia.

Kembali ke kasus pemerkosaan di Ngada. Tindakan si pemuda tentu tidak dalam konteks taktik atau strategi agresi yang dijelaskan Stiglmayer. Namun, ada kesamaannya. Yakni, dalam hal relasi kekuasaan antara pelaku dan korban. Relasi asimetris. Relasi antara si kuat dan si lemah. Antara si penakluk dan si tertakluk. Antara si pememang dan si pecundang. Relasi asimetris ini sesungguhnya telah lama tertanam dan melembaga dalam masyarakat.

Relasi asimetris ini semakin tidak simetris karena si korban tidak hanya perempuan dan anak di bawah umur, tapi juga seorang cacat. Bukankah di negeri ini orang cacat dianggap seolah-olah tidak ada? Tengoklah ruang-ruang publik: terminal, sekolah, kantor, dll. Semuanya tidak nyaman bagi kaum cacat. Tak ada ramp untuk kursi roda, guide block untuk tunanetra, atau petunjuk bagi tunarungu.

Perlakuan negara seperti ini tentu samakin menyuburkan relasi kekuasan asimetris itu tadi. Maka, tidak heran, banyak wanita cacat menjadi korban pemerkosaan. Mereka dianggap tidak ada, sehingga "boleh" diapakan saja oleh siapa saja. Apakah karena ini juga Polsek Riung belum menangkap pelaku pemerkosaan? Halo Polsek Riung?

"Bentara” FLORES POS, Kamis 5 Mei 2011

Inikah Ngada Bangkit?

Frans Anggal

Kompak Memprotes Surat Gubernur NTT
Ribuan massa Perkumpulan Rakyat Watu Ata (Permata) mendatangi bupati, wabup, dan DPRD Ngada di Bajawa, Kamis 5 Mei 2011. Mereka memprotes surat gubernur NTT ke Menteri Kehutanan RI. Surat itu tidak mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan di NTT. Ini dinilai tidak realistis dan sangat merugikan masyarakat (Flores Pos Jumat 6 Mei 2011).
Surat itu tertanggal 20 Desember 2010. Perihal Ranperda RTRW Provinsi NTT 2010-2030. Tentang kehutanan, surat itu tidak usulkan perubahan. Akibatnya, bagi Kabupaten Ngada, luas kawasan hutan masih seperti dulu. Yakni 56 persen. Padahal, UU 41/1999 tentang Kehutan¬an menetapkan hanya 30 persen untuk sebuah kabupaten.

Demo ini mendapat tangapan positif dari bupati, wabup, dan ketua DPRD. Bupati Marianus Sae bilang, surat gubernur itu tidak sesuai dengan kondisi riil di Ngada dan sangat merugikan masyarakat Ngada. Sudah dua kali ia mengirim surat protes ke pusat, 8 Maret dan 27 April 2011. Namun belum ditanggapi pusat. Pemerintah dan DPRD ajukan luas kawasan hutan Ngada 30 persen.

Wabup Paulus Soliwoa bilang, untuk mengegolkan perjuangan, pemerintah akan presentasikan kondisi riil wilayah Ngada dan kawasan hutannya. Pemkab akan tempuh langkah administratif ke pusat.

Ketua DPRD Kristoforus Loko biang, jeritan rakyat dirasakan oleh wakil rakyat. "Kita tidak inginkan terjadi tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat. Kalau terjadi, kami sebagai wakil rakyat tidak akan berdiam diri, tetapi berupaya untuk menyelamatkan rakyat. Hutan tetap penting untuk kepentingan masyarakat, tetapi tidak boleh mengorbankan kehidupan masyarakat."

Aha! Sungguh menarik. Dalam demo ini, masyarakat, eksekutif, dan legislatif memiliki cara wawas yang sama terhadap surat gubernur. Bahwa surat gubernur tidak aspiratif. Gubernur tidak tanya-tanya kabupaten. Soal substansi hutan, gubernur bersikap seenak perutnya sendiri. Padahal gubernur tidak punya wilayah. Yang punya wilayah adalah bupati.

Selain tidak aspiratif, surat gubernur tidak realistis. Tidak sesuai dengan kondisi riil kabupaten. Yang kenal kabupaten adalah bupati. Namun pihak yang paling mengenal wilayahnya sendiri ini justru tidak ditanyai.

Tidak hanya tidak realistis, surat gubernur juga merugikan masyarakat. Khusus di Ngada, sebagian besar ruang hidup masyarakat ditetapkan jadi kawasan hutan, 56 persen. Sementara mayortas masyarakatnya hidup dari pertanian. Jumlah mereka terus bertambah. Seiring dengan itu, mereka butuhkan lahan yang luas. Dalam keadaan begini, kenapa gubernur tidak usulkan perubahan kawasan hutan menjadi 30 persen untuk semua kabupaten, sesuai dengan amanat UU?

Dampaknya menarik. Surat gubernur diprotes oleh bupati. Hal yang tidak perlu terjadi kalau gubernur menjalankan fungsi koordinasi. Justru ini yang kurang dari gubernur sekarang. Tidak heran pula, kasus tapal batas Ngada dan Manggarai Timur tetap menggantung tidak jelas penyelesaiannya. Tidak hanya diprotes oleh bupati, surat gubernur juga diprotes oleh masyarakat. Demo ribuan massa Permata itu adalah demo protes surat gubernur. Demkian pula pernyataan bupati, wabup, dan ketua DPRD adalah pernyataan protes terhadapnya.

Yang tak kalah menarik, kompaknya Ngada memprotes surat itu. Tampak, masyarakat, bupati, wabup, ketua DPRD bersatu padu memperjuangkan kepentingan masyarakat. Ini fenomena yang langka. Apakah ini pertanda Ngada bangkit?

"Bentara” FLORES POS, Sabtu 7 Mei 2011

DPRD Ngada Desak Kapolres Dimutasikan





Ditulis oleh hans   
Saturday, 02 May 2009 23:09
Flores Pos
Bajawa,NTT Online - Ketua DPRD kabupaten Ngada, Thomas Dolaradho menegaskan, Kapolda NTT dan Kapolri harus memperhatikan aspirasi seluruh masyarakat Ngada dan Sikka atau umat Keuskupan Agung Ende dan Keuskupan Maumere. Kapolda dan Kapolri harus segera memutasikan Kapolres Ngada AKBP Erdy Swahariyadi dari Polres Ngada.
“DPRD Ngada sangat mendukung surat pernyataan kekecewaan Uskup Agung Ende Mgr Vincent Sensi Potokota dan 97 imam se-Keuskupan Agung Ende atas kinerja Polres Ngada yang lamban menangani penyelidikan kasus kematian Romo Faustinus Sega. Dewan minta Kapolda dan Kapolri segera memutasikan Kapolres Ngada,” kata Thomas Dolaradho, Kamis (30/4) di ruang kerjanya sesaat setelah menerima surat pernyataan Uskup dan 97 imam se-KAE yang ditijukan kepada Gubernur, Kapolda NTT dan Pimpinan DPRD NTT.
DPRD Ngada, katanya, malu terhadap masyarakat. Sebab berbagai aspirasi dan perjuangan dalam pengungkapan misteri kematian Romo Faustinus sepertinya dihadapkan batu besar penegakan hukum di daerah ini. Berbagai cara telah ditempuh, tetapi tidak menggerakan hati nurani aparat penegak hukum di Ngada.
Luka hati masyarakat dan umat KAE dan Sikka sedikit terobati karena Polda NTT bersedia mengambil alih penyelidikan dan penyidikan kasus Romo Faustinus. Polisi sudah menetapkan Rogasianus Waja dan Teresia Tawa jadi tersangka. Tentu saja lembaga Dewan sangat mendukung langkah-langkah Polda NTT. Dewan dorong agar Polda melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya sehingga kekecewaan masyarakat terobati.
“Bapak Uskup dan para imam Keuskupan Agung Ende sudah mempercayakan DPRD dan Pemda Ngada. Ketika mereka (para imam) membuat surat seperti ini, sedapat mungkin harus ditanggapi. Sebab pernyataan sikap ini menunjukan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap institusi kepolisian Ngada. Kapolres Ngada harus dimutasikan,” kata Thomas Dolaradho.
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) NTT Meridian D. Dado per telepon Rabu (29/4) mengatakan, TPDI telah melaporkan semua kinerja Kapolres Ngada ke Kapolri. TPDI melaporkan kinerja Polres Ngada mulai dari manipulasi hukum dalam proses hukum kasus kematian Romo Faustinus sampai dengan keterlibatan aparat Polres Ngada dalam penebangan dan penyelundupan kayu cendana di Wolomese Kabupaten Ngada.
“TPDI juga menyampaikan tertutupnya informasi kepada publik berkaitan dengan kasus Romo Faustinus. Visum et Repertum yang dilakaukan ahli forensik Mun’in Idris dimanipulasi seolah-olah korban meninggal dunia bukan karena kekerasan. Kapolres juga melepaskan tersangka yang sudah ditahan,” kata Meridian Dado.
Tidak ada jalan lain, kata Dado, apabila citra Polres Ngada ingin lebih baik, Kapolres Ngada dipindahkan dan diganti dengan Kapolres yang berkinerja baik dan merayakat.

PROFILE NGADA

Kabupaten Ngada Adalah Salah Satu Kabupaten Yang Berada Di Dalam Wilayah Propinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) Yang Terletak Di Sebelah Barat Dari Pulau Flores. Ibukota Kabupaten Ngada Adalah Kota Bajawa. Ketinggian Letak Topografi Kota Bajawa Ini, Membuat Udara Di Kota Bajawa Ini Sangat Sejuk, Bahkan Pada Bulan-Bulan Tertentu, Boleh Jadi Akan Terasa Dingin Bagi Mereka Yang Belum Terbiasa Dengan Alam Yang Ada Di Kabupaten Ngada Ini. Letak Geografis Kabupaten Ngada Adalah Berbatasan Darat Langsung Dengan Kabupaten Manggarai Timur Dan Kabupaten Nagekeo. Kota Bajawa Dihubungkan Oleh Transportasi Darat Yang Dapat Diakses Mulai Dari Bagian Paling Timur Pulau Flores Yaitu Dari Larantuka Yang Adalah Ibukota Kabupaten Flores Timur Melewati Kota Bajawa Sampai Ke Bagian Barat Flores Yaitu Di Kota Labuan Bajo Yang Adalah Ibukota Kabupaten Manggarai Barat. Sedangkan Untuk Akses Masuk Dan Keluar Daerah Kabupaten Ngada Dapat Menggunakan Jalur Laut Melalui Pelabuhan Aimere Dan Untuk Lalu Lintas Udara Dapat Mengakses Bandar Udara So'a.

Kabupaten Ngada Tergolong Daerah Yang Beriklim Tropis. Hal Ini Juga Tergambar Pada Banyaknya Padang Savana Di Kabupaten Ngada Ini. Seperti Juga Beberapa Kabupaten Lainnya Di Pulau Flores Ini, Kabupaten Ngada Juga Memiliki Beberapa Daerah Obyek Wisata Yang Cukup Dapat Diandalkan. Diantaranya Adalah, Tempat Pemandian Air Panas Mengeruda, Kemudian Masih Ada Juga Obyek Wisata lainnya Seperti Bangunan Megalit Di Perkampungan Adat Bena. Sedangkan Obyek Wisata Bahasi Di Kabupaten Ini Adalah Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung.

Letak Astronomis Kabupaten Ngada Adalah Berada Diantara 8° 20'35,97" LS - 8° 57' 23,43" LS Dan 120° 48' 38,86" BT - 121° 08' 58,39" BT. Kondisi Iklim Daerah Pegunungan Yang Sejuk Dan Ketersediaan Hijauan Yang Relatif Besar Sangat Cocok Bagi Pengembangan Sektor Peternakan Di Kabupaten Ngada. Dengan Panjang Musim Kemarau Antara 8 - 9 Bulan Dan Sisanya Rentangn Musim Penghujan Antara 3 - 4 Bulan. Adalah Tantangan Lain Sektor Pertanian Kabupaten Ngada. Kabupaten Ngada Seperti Juga Kawasan lain Di Pulau Flores Seperti Manggarai, Manggarai Timur, Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, Kabupaten Lembata, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Manggarai Barat, Dan Kabupaten Flores Timur, Menyimpan Banyak Ragam Kebudayaan NTT (Nusa Tenggara Timur) Yang Belum Terekspos Secara Gamblang.

Letak Geografis Kabupaten Ngada Adalah Berbatasan Dengan :
1. Sebelah Utara Kabupaten Ngada Adalah Berbatasan Dengan : Laut Flores
2. Sebelah Timur Kabupaten Ngada Adalah Berbatasan Dengan : Kabupaten Nagekeo
3. Sebelah Selatan Kabupaten Ngada Adalah Berbatasan Dengan : Laut Sawu
4. Sebelah Barat Kabupaten Ngada Adalah Berbatasan Dengan : Kabupaten Manggarai Timur

Sektor Pertambangan Di Kabupaten Ngada Adalah Juga Sebuah Potensi Yang Harus Dioptimalkan Dalam Menambah Penghasilan Daerah Kabupaten Ngada. Kabupaten Ngada Memiliki Potensi Pertambangan Yang Cukup Beraneka Ragam Dan Penyebarannya Di Beberapa Lokasi, Di Kabupaten Ngada. Beberapa Jenis Bahan Tambang Tersebut Diantaranya Adalah Besi/ Mangan Yang Kandungannya Diperkirakan Banyak Dijumpai Diwilayah Mbong Milong-Riung Dengan Perkiraan Luas Areal Tambang Adalah Sekitar 1.359 Ha. Emas Kandungannya Diperkirakan Banyak Dijumpai Diwilayah Rawangkalo, Wangka, Lindi Dengan Perkiraan Luas Areal Tambang Adalah Sekitar 1.177.100 Ha. Masih Ada Juga Perak Dalam Jumlah Kecil, Belerang Yang Berada Di Sekitar Matalako Dengan Perkiraan Luas Areal Tambang Adalah 30 Ha, Tembaga, Pasir Besi, Marmer Di Sekitar Sambinasi, Rawangkalo, Wangka Dengan Perkiraan Volume Adalah Sekitar 15.452.336 M3, Granodiort, Zeolit, Dan Batu Permata Serta Akik.

Kabupaten Ngada Juga Berada Didalam Jalur Lintas Gunung Berapi, Dengan Memiliki Dua Gunung Berapi Di Wilayah Kabupaten Ngada Yaitu Gunung Inerie Dan Gunung Inelika. Selain Itu Juga Kabupaten Ngada Memiliki Wilayah Perairan Yang Sangat Potensial Baik Di Pantai Utara Kabupaten Ngada Yaitu Laut Flores Tepatnya Di Kecamatan Riung, Maupun Laut Selatan Yaitu Laut Sawu Masing-Masing Berada Di Kecamatan Golewa Dan Kecamatan Aimere.Hasil Laut Yang Utama Dari Kabupaten Ngada Adalah Ikan Pelagis, Ikan Demersal, Ikan Tuna, Lobster, Rumput Laut Dan Mutiara. Penghidupan Sebahagian Kalangan Di Ngada Adalah Sebagai Nelayan Yang Dengan Banyaknya Intensitas Penyuluhan Menyebabkan Sebagian Diantaranya Juga Berpola Budidaya Secara Swakelola. Hal Ini Ditunjang Dengan Panjang Garis Pantai Di Kabupaten Ngada Sepanjang 219 Km.

Nama Kecamatan Yang Ada Di Kabupaten Ngada :
1 Kecamatan Riung Barat
2 Kecamatan Riung
3 Kecamatan Wolomeze
4 Kecamatan Soa
5 Kecamatan Bajawa Utara
6 Kecamatan Golewa
7 Kecamatan Bajawa
8 Kecamatan Jerebuu
9 Kecamatan Aimere

Daftar Pulau Yang Ada Di Wilayah Kabupaten Ngada, Antara Lain :
 1. Pulau Mborong
 2. Pulau Dua
 3. Pulau Ontoloe
 4. Pulau Gong
 5. Pulau Lainjawa
 6. Pulau Nelo
 7. Pulau Bobajie
 8. Pulau Pata
 9. Pulau Bakau
10. Pulau Rutong
11. Pulau Sui
12. Pulau Tembang
13. Pulau Tiga
14. Pulau Taor
15. Pulau Tembaga
16. Pulau Wire
17. Pulau Batu

Alat Musik Kabupaten Ngada
Foy Doa Adalah Alat Musik Tradisional Kabupaten Ngada. Kapan Alat Musik FOY DOA Ini Pertama Kali Dibunyikan Atau Ditemukan Tidaklah Pasti Dapat Kita Ketahui, Sebab Tidak Satupun Referensi Yang Dapat Dipakai Untuk Memastikan Usia Alat Musik Yang Satu Ini. FOY DOA Artinya Kurang Lebih Adalah Suling Ganda Atau Suling Berganda. FOY DOA Ini Terbuat Dari Bambu Kecil Yang Dalam Pemakaiannya Tidak Seperti Suling Biasa Lainnya Yang Hanya Menggunakan Sebilah Bambu Saja, Melainkan Terdiri Dari 2 Atau Lebih Suling Yang Digandeng Dan Digunakan Secara Bersama-Sama. Hal Ini Mengakibatkan Nada Dari Suling Ini Bisa Sebagai Nada Tunggal (Bunyi Suling Tinggal) Dan Bisa Juga Nada Berganda (Bunyi Lebih Dari Satu Suling). Tentunya Tergantung Keinginan Dari Pemain FOY DOA Itu Sendiri.
Awalnya Alat Musik FOY DOA Ini Digunakan Secara Tunggal Tanpa Alat Musik Lainnya Dalam Membawakan Sebuah Lagu Atau Nyanyian, Namun Dalam Perjalanannya Alat Musik Ini Kemudian Dibawakan Dengan Menggunakan Alat Musik Lainnya Secara Bersama-Sama. Alat Musik Lainnya Yang Sering Digunakan Bersama Ini Antara Lain Adalah Laba Dera Atau Laba Toka. Selain Kedua Alat Musik Tadi Masih Ada Juga Beberapa Jenis Alat Musik Yang ternyata Juga Sering Digunakan Sebagai Pengiring Alat Musik FOY DOA Yaitu Tobo (Thobo) Atau Sowito.

FOY DOA

Alat Musik Tradisional NTT, Foy Doa

Beberapa Jenis Alat Musik Pukul Yang Khas Kabupaten Ngada Antara Lain :

1. SOWITO
Alat Musik Pukul Khas Kabupaten Ngada Yang Terbuat Dari Bambu. Seruas Bambu Yang Dicungkil Kulitnya Berukuran 2 Cm Yang Kemudian Diganjal Dengan Batangan Kayu Kecil. Cungkilan Kulit Bambu Ini Berfungsi Sebagai Dawai. Cara Memainkan Dipukul Dengan Sebatang Kayu Sebesar Jari Tangan Yang Panjangnya Kurang Dari 30 Cm. Sertiap Ruas Bambu Menghasilkn Satu Nada. Untuk Keperluan Penggiringan, Alat Musik Ini Dibuat Beberapa Buah Sesuai Kebutuhan.

SOWITO

Alat Musik Tradisional NTT, Sowito

2. THOBO
Alat Musik Khas Kabupaten Ngada Yang Terbuat Dari Bambu. Seruas Bambu Betung Yang Buku Bagian Bawahnya Dibiarkan, Sedangkan Bagian Atasnya Dilubangi. Cara Memainkannya Adalah Dengan Ditumbukan Ke Lantai Atau Tanah (Seperti Menumbuk Padi). Alat Musik Ini Berfungsi Sebagai Bass Dalam Mengiringi Musik Foy Doa.

THOBO

Alat Musik Tradisional NTT, Thobo

BANGUNAN MEGALITH DI PERKAMPUNGAN ADAT BENA

Perkampungan Adat Bena Adalah Nama Sebuah Perkampungan Tradisional Yang Terletak Di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa Yang Terletak Sekitar 13 Km Arah Selatan Kota Bajawa Di Bawah Kaki Gunung Inerie. Sebuah Perkampungan Adat Yang Masih Bernuansa Tradisional, Keberadaan Ini Masih Ditambah Lagi Dengan Keberadaan Bangunan Batu Yang Menyerupai Bangunan-Bangunan Dari Zaman Megalithikum Yang Sampai Sekarang Masih Digunakan Masyarakat Lokal Setempat Dalam Melaksanakan Ritual Adat Di Perkampungan Adat Bena Ini. Tata Kehidupan Masyarakat Di Perkampungan Adat Bena Ini, Masih Mempertahankan Keaslian Budaya Turun-Temurun Masyarakat Perkampungan Tersebut. Perkampungan Adat Bena Terletak Tepat Di Lereng Bukit Inerie Yang Terlihat Agak Menonjol. Warga Masyarakat Perkampungan Adat Bena, Menyebut Tempat Ini Seperti Berada Di Atas Kapal Karena Bentuknya Yang Terlihat Memanjang Seperti Bentuk Sebuah Perahu Panjang.

Konon Menurut Cerita Yang Dipercaya Secara Turun Temurun Oleh Warga Masyarakat Perkampungan Adat Bena, Pada Zaman Dahulu Ada Sebuah Kapal Besar Yang Pernah Terdampar Di Atas Lereng Gunung Itu. Kapal Itu Kemudian Tidak Pernah Lagi Bisa Berlayar Dan Terus Terdampar Sampai Akhirnya Air Surut Dan Menjauh Dari Tempat Terdamparnya Kapal Tersebut. Bangkai Kapal Itu Kemudian Membatu Dan Di Atasnya Kemudian Digunakan Masyarakat Setempat Sebagai Lokasi Sebuah Perkampungan. Perkampungan Adat Bena Mempunyai Daya Tarik Sendiri Bagi Para Wisatawan Karena Bangunan Megalitik Yang Ada Di Tengah Perkampungan Adat Bena, Yakni Berupa Susunan Batu-Batuan Kuno Layaknya Peninggalan Zaman Megalithikum. Tidak Ada Seorang Pun Yang Mengetahui Secara Pasti, Kapan Dan Siapa Yang Mendirikan Bangunan Megalitik Tersebut, Namun Bagi Warga Perkampungan Adat Bena, Mereka Percaya Kalau Bebatuan Tersebut Disusun Seorang Diri Oleh Seorang Lelaki Perkasa Yang Bernama Dhake.

Hmmmmm .. Lagi-Lagi Sebuah Cerita Rakyat Yang Menemaninya. Sejarah Keberadaan Perkampungan Adat Bena Menurut Warga Setempat, Adalah Ketika Suatu Waktu Tempat Tersebut Didatangi Oleh Sekelompok Orang, Yang Kemudian Membangun Sebuah Perkampungan Di Tempat Yang Kemudian Diberi Nama Bena. Sedangkan Bangunan Megalit Yang Ada, Diyakini Yang Membuatnya Adalah Seseorang Yang Bernama Dhake, Yang Juga Termasuk Diantara Kelompok Yang Membangun Perkampungan Adat Bena, Yang Bertekad Ingin Menciptakan Sebuah Perkampungan Yang Indah. Maka Timbulah Gagasan Dalam Benaknya Untuk Menyertakan Batu-Batu Besar Sebagai Hiasannya. Terdorong Oleh Keinginannya Itu, Ia Kemudian Pergi Ke Pantai Aimere Yang Berjarak Sekitar Seratus Kilometer Dari Perkampungan Bena. Dari Sana Ia Mengambil Batu-Batu Besar Berbentuk Lempengan Panjang Atau Pun Meruncing, Lalu Dipikulnya Hingga Ke Perkampungan Adat Bena. Batu- Batu Itu Kemudian Disusun Sedemikian Rupa, Ada Yang Berdiri Dan Ada Pula Yang Dibiarkan Mendatar. Sususan Batu-Batu Ini Terlihat Tak Ubahnya Bangunan Peninggalan Sebuah Kebudayaan Di Zaman Megalithikum. Observasi Dan Kajian Ilmiah Yang Mendalam Tentunya Dibutuhkan Untuk Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Keberadaan Dan Apakah Ini Memang Hasil Peninggalan Kebudayaan Yang Ada Di Zaman Megalithikum?

Bagi Yang Berkunjung Ke Perkampungan Adat Bena, Bentuk Sederhana Dari Sebuah Peradaban Masa Lampau Berupa Susunan Batu-Batu Yang Teratur Dan Berada Tepat Di Tengah Perkampungan. Pada Beberapa Bebatuan Terlihat Jelas Jejak Sebuah Bekas Telapak Kaki. Bagaimana Jejak Tapak Kaki Itu Mampu Bertengger Pada Bebatuan Tersebut? Atau Apa Makna Yang Terkandung Atau Tujuan Pembuatnya Dengan Meninggalkan Jejak Tersebut? Penasaran Adalah Kepastian, Dan Bertanya Adalah Jalannya. Jejak Yang Menyerupai Bekas Tapak Kaki Ini, Diyakini Oleh Masyarakat Perkampungan Adat Bena Adalah Telapak Kaki Milik Dhake. Menurut Cerita Yang Telah Turun-Temurun Diwariskan Ini, Pada Saat Membangun Perkampungan Adat Bena Ini, Batu-Batu Yang Dipikul Dhake Dari Aimere, Masih Lembek Dan Tidak Sekeras Yang Sekarang Ada Sehingga Bekas Tapak Kaki Dhake Nampak Jelas Di Atas Batu. Mengenai Benar Dan Tidaknya, Tak Seorangpun Dapat Memastikan Tentunya.

Pengunjung Yang Datang Ke Perkampungan Adat Bena Ini Akan Menemukan Jejeran Rumah-Rumah Penduduk Bentuk Dan Penataannya Masih Sangat Tradisional. Bangunan-Bangunan Ini Letaknya Saling Berhadapan. Rumah-Rumah Adat Yang Ada Di Perkampungan Adat Bena ini Disebut Peo, Bangunan Yang Terbuat Dari Papan Dengan Konstruksi Sebuah Rumah Panggung, Beratapkan Alang-Alang Dengan Dinding Yang Terbuat Bambu Pada Teras Depan Yang Berukuran Sekitar 10 x 10 Meter. Tepat Di Tengah Perkampungan Adat Bena Ini, Terdapat Monumen Adat Yang Dibangun Seperti Lopo [ Madhu ] Dan Sebuah Rumah Kecil Yang Disebut Bhaga. Kedua Bangunan Ini Oleh Masyarakat Perkampungan Adat Bena Diyakini Sebagai Simbol Pemersatu Dari Suku Yang Menempati Perkampungan Adat Bena Itu Sendiri. Masyarakat Perkampungan Adat Bena Benar-Benar Bertekad Untuk Mempertahankan Keaslian Perkampungan Tersebut. Semua Rumah Dibangun Menyerupai Rumah Adat Dan Tidak Diizinkan Membangun Rumah Dengan Campuran Yang Bergaya Modern. Sarana Penerangan Listrik Pun Belum Menyentuh Perkampungan Adat Bena, Lantaran Hal Ini Adalah Hal Yang Juga Tidak Diizinkan Sehingga Untuk Penerangannya Hanya Menggunakan Lampu Pelita.